![]() |
| UN Photo / Mark Garten |
Lonjakan pesat penggunaan platform kecerdasan buatan, artificial intelligence (AI) dan digitalisasi skala global membuka peluang baru bagi pertumbuhan ekonomi, namun juga menimbulkan tantangan besar dalam dunia kerja.
Laporan terbaru dari Departemen Analisis Ekonomi dan Sosial Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyoroti bahwa perubahan teknologi ini tidak berdampak sama bagi semua orang. Perempuan disebut sebagai kelompok yang paling rentan terhadap dampak negatif otomatisasi dan adopsi teknologi berbasis AI, terutama akibat ketimpangan sosial dan ekonomi yang sudah ada.
Salah satu tantangan utama yang disorot adalah pergeseran jenis pekerjaan akibat otomatisasi. Pada tahap awal digitalisasi, pekerjaan yang melibatkan tugas-tugas rutin dan berkeahlian rendah menjadi yang paling terdampak.
PBB mencatat bahwa pekerjaan seperti administrasi, manufaktur, dan dukungan kantor, yang secara historis banyak digarap perempuan, mengalami penurunan signifikan. Di Amerika Serikat saja, antara 2000–2019, sekitar 3,5 juta perempuan kehilangan pekerjaan di bidang tersebut, sementara di kalangan laki-laki hanya sekitar satu juta.
Gelombang berikutnya, yakni kemunculan AI generatif (GenAI), diyakini membawa dampak yang jauh lebih luas. Data UN Women (2025) menunjukkan bahwa secara global, sekitar 27,6 persen pekerjaan yang digarap perempuan berisiko terdampak otomatisasi GenAI, dibandingkan 21,1 persen di kalangan laki-laki.
Di negara-negara berpenghasilan tinggi dan menengah ke atas, perempuan menghadapi risiko paling besar karena banyak yang bekerja di sektor administrasi, pendidikan, dan pelayanan publik, bidang yang kini mulai terdigitalisasi.
"Secara global, 27,6 persen pekerjaan yang digarap perempuan berpotensi terpapar GenAI, dibandingkan dengan 21,1 persen pekerjaan yang digarap laki-laki (UN Women, 2025). Potensi dampak ketenagakerjaan, baik melalui otomatisasi maupun penambahan tugas sangat bervariasi di berbagai negara. Perempuan di negara-negara berpenghasilan tinggi dan menengah ke atas menghadapi paparan GenAI yang sangat kuat karena konsentrasi mereka pada pekerjaan administrasi, pendidikan, dan administrasi publik. Sebaliknya, disparitas gender lebih sempit di negara-negara berpenghasilan rendah, terutama karena perempuan kurang terwakili dalam pekerjaan yang paling terdampak oleh teknologi ini," tulis PBB dalam laporan resminya, seperti diansir Senin (20/10/2025).
Selain persoalan otomatisasi, rendahnya representasi perempuan dalam bidang teknologi juga menjadi perhatian serius. PBB menegaskan bahwa ketika perempuan tidak dilibatkan dalam proses desain dan pengembangan AI, risiko munculnya sistem yang bias terhadap gender meningkat tajam. Dataset yang berat sebelah dan algoritma yang tidak diuji secara inklusif dapat memperkuat diskriminasi dalam perekrutan, promosi, hingga penilaian kinerja.
Keterlibatan perempuan di sektor sains, teknologi, teknik, dan matematika (STEM) juga masih tertinggal. Menurut World Economic Forum (2024), perempuan hanya mengisi kurang dari sepertiga lulusan bidang STEM di 73 negara.
Padahal, keahlian di bidang ini menjadi kunci dalam menghadapi ekonomi digital yang kian bergantung pada teknologi. Inisiatif seperti Women in Digital di Uni Eropa dan Girls in ICT di Rwanda mencoba menutup kesenjangan ini. Di Indonesia, program SCILLS (Strengthening Communities/Improving Lives and Livelihoods) menargetkan peningkatan literasi digital bagi perempuan pedesaan.
Platform digital membawa risiko baru.
![]() |
| data: PBB |
Di sisi lain, maraknya pekerjaan berbasis platform digital membawa risiko baru. Banyak perempuan bekerja sebagai pengemudi transportasi daring, pekerja lepas, atau pengantar barang di sektor gig economy yang belum terlindungi dengan baik secara hukum.
Sementara itu, kondisi kerja yang tidak stabil, upah rendah, dan risiko pelecehan menjadi isu utama. Organisasi Ketenagakerjaan Internasional (ILO) pada tahun 2022 mencatat bahwa perempuan di sektor ini sering menghadapi diskriminasi dalam penilaian pelanggan, yang berpengaruh langsung terhadap pendapatan dan keberlanjutan kerja mereka.
"Banyak perempuan di negara berkembang, seperti India dan Nigeria, telah beralih ke pekerjaan platform, termasuk berbagi tumpangan, bimbingan belajar daring, dan pembuatan konten digital. Namun, tanpa kontrak formal dan regulasi sektoral, pengaturan kerja ini dapat mendorong perempuan semakin terpuruk dan memperburuk kerentanan yang sudah ada," ungkapnya.
Masalah lain yang tak kalah serius adalah beban ganda yang dihadapi perempuan akibat meningkatnya tren kerja jarak jauh. Digitalisasi membuat batas antara pekerjaan profesional dan tanggung jawab domestik menjadi kabur.
Tanpa dukungan kebijakan yang memadai, perempuan cenderung menanggung lebih banyak pekerjaan rumah tangga dan perawatan anak, yang pada akhirnya menghambat kemajuan karier dan memperlebar kesenjangan ekonomi berbasis gender.
PBB menekankan digitalisasi dan AI dapat menjadi kekuatan positif jika dirancang secara inklusif, dengan mempertimbangkan kebutuhan dan pengalaman perempuan. Tanpa langkah korektif seperti pendidikan STEM yang lebih terbuka, kebijakan kerja fleksibel yang adil, dan regulasi yang melindungi pekerja digital, masa depan ekonomi digital justru berisiko memperkuat ketimpangan yang telah lama ada.
"Teknologi digital dapat memperluas akses lapangan kerja, memungkinkan pengaturan kerja yang fleksibel, dan mendorong kewirausahaan. Namun, akses yang tidak setara terhadap perangkat dan keterampilan digital, bias gender yang tertanam dalam teknologi, dan kurangnya representasi perempuan di bidang STEM dan sektor TIK mengancam akan memperparah kesenjangan gender yang sudah ada. Adopsi AI yang pesat menambah kompleksitas baru: tanpa perspektif yang beragam dalam pengembangan dan pengawasan AI, algoritma berisiko mereplikasi dan memperkuat bias sistemik, terutama dalam proses perekrutan, akses kredit, dan layanan publik. Tanpa intervensi kebijakan yang terarah, transformasi digital berisiko memperkuat pola eksklusi dan membatasi partisipasi ekonomi perempuan," terangnya.
.jpeg.webp)
