![]() |
CEO Telegram, Pavel Durov | cover |
Hanya dalam kurun waktu 20 hari setelah pernyataan sebelumnya, ratusan laporan masuk ke pihak Telegram dari berbagai belahan dunia. Laporan-laporan tersebut menggambarkan modus yang serupa: pelaku menggunakan kanal publik atau privat untuk menyebarkan informasi pribadi korban secara ilegal, lalu menuntut bayaran untuk menghapusnya. Situasi ini mendorong tim Telegram untuk bertindak cepat dan tegas.
Minggu ini, pihak Telegram telah memblokir sejumlah kanal yang terbukti melakukan pelanggaran serius, terutama doxxing dan pemerasan. Menurut CEO-nya, tindakan ini diambil berdasarkan bukti tak terbantahkan yang diperoleh dari laporan pengguna dan investigasi internal. Langkah ini diharapkan memberi sinyal kuat kepada para pelaku bahwa platform ini tidak akan mentolerir tindakan kriminal.
"Setelah postingan saya 20 hari lalu, pengguna telah mengirimkan kepada kami ratusan laporan tentang penipuan dan pemerasan. Berdasarkan laporan ini, minggu ini kami memblokir sejumlah saluran karena doxxing dan pemerasan," tulis Pavel di grup personalnya, dilansir Rabu (13/8/2025).
Salah satu pola kejahatan yang terungkap adalah publikasi postingan yang mencemarkan nama baik korban, disertai ancaman akan menyebarkan informasi lebih luas jika uang tebusan tidak dibayarkan. Modus ini tidak hanya menimbulkan kerugian finansial, tetapi juga tekanan psikologis yang berat bagi korban. Telegram memastikan setiap laporan akan dianalisis secara detail sebelum memutuskan pemblokiran kanal.
Tak hanya itu, beberapa pelaku bahkan mencoba mengubah modus dengan menjual layanan yang mereka sebut “blok perlindungan.” Dalam praktiknya, korban diminta membayar biaya tertentu agar tidak menjadi target serangan. Cara ini memperlihatkan tingkat keberanian dan kreativitas para pelaku dalam mencari keuntungan ilegal dari kelemahan orang lain.
CEO Telegram menegaskan bahwa praktik semacam ini akan terus diburu dan diberantas. Ia memperingatkan para pengelola kanal yang terlibat bahwa membuat kloningan kanal baru setelah diblokir tidak akan menyelamatkan mereka. Dengan teknologi dan sistem pendeteksian yang dimiliki, pihak Telegram optimistis dapat melacak kembali para pelaku meskipun mencoba berpindah platform atau identitas.
"Larangan karena alasan ini berarti kami memiliki bukti tak terbantahkan bahwa admin suatu kanal menerbitkan postingan yang mencemarkan nama baik, lalu menghapusnya dengan imbalan pembayaran dari korban. Beberapa bahkan tertangkap menjual apa yang disebut 'blok perlindungan' — biaya yang harus dibayar korban agar tidak menjadi target," ungkapnya.
Bagi Telegram, keamanan dan privasi pengguna adalah prioritas utama. Platform ini mengaku akan terus meningkatkan kemampuan deteksi otomatis terhadap perilaku mencurigakan, sembari tetap mengandalkan partisipasi aktif pengguna dalam melaporkan kasus. Sinergi antara teknologi dan kesadaran komunitas dianggap sebagai kunci dalam menekan angka kejahatan siber di platform ini.
Pesan terakhir dari CEO Telegram sangat jelas, tidak ada tempat bagi doxxing, pemerasan, atau bentuk penipuan lainnya di Telegram. Para pelaku diminta untuk berhenti sebelum terlambat, karena upaya untuk menghindar hanya akan berakhir dengan penangkapan dan penghapusan kanal. Dengan komitmen yang kuat, Telegram berharap ekosistem komunikasinya tetap menjadi ruang aman bagi semua pengguna.
"Telegram bukan tempat untuk doxxing atau pemerasan. Dan bagi mereka yang mengelola kanal semacam itu: jangan buang waktu Anda membuat kloningan — kami akan menemukan Anda," terangnya.