iklan - scroll untuk melanjutkan membaca.

Regulasi digital anak, perlu kesadaran dan tanggung jawab bersama

"Kita bisa bikin aturan seketat apapun, tapi kalau di rumah anak-anak tidak mendapatkan contoh yang baik, semua akan percuma. Orang tua harus hadir"

author photo
A- A+
Diskusi ini dihadiri Staf Khusus Menteri Bidang Kemitraan Global dan Edukasi Digital, Raline Shah, dalam Forum Group Discussion (FGD) bersama tim dari Pusat Studi Kebijakan Publik (PSPK) serta 15 perwakilan anak dari jenjang SD, SMP, dan SMA | @komdigi
Anak-anak merupakan kelompok yang paling rentan terhadap dampak negatif penggunaan teknologi dan platform digital. Dari akses informasi yang luas hingga risiko paparan konten negatif, mereka menghadapi berbagai tantangan yang belum tentu dipahami oleh orang dewasa. 

Oleh karena itu, Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) mengambil langkah progresif dengan melibatkan anak-anak dalam penyusunan regulasi perlindungan digital dengan mendengar suara mereka dalam penyempurnaan regulasi perlindungan anak di ruang digital.
"Anak-anak bukan sekadar pengguna, mereka adalah pemangku kepentingan utama. Mereka merasakan langsung dampak baik dan buruk dunia digital. Jika kita ingin regulasi yang benar-benar melindungi, kita harus mendengar mereka," ujar Staf Khusus Menteri Bidang Kemitraan Global dan Edukasi Digital, Raline Shah, dalam Forum Group Discussion (FGD) bersama anak-anak dari berbagai sekolah di Perpustakaan Komdigi, Jakarta Pusat, Selasa (18/2/2025).
Regulasi yang disusun bukan sekadar wacana, tetapi harus berakar pada pengalaman nyata. Anak-anak berbagi cerita tentang betapa mudahnya mereka terpapar konten negatif, tekanan sosial di media digital, dan kurangnya kesadaran orang tua dalam mendampingi mereka saat berselancar di dunia maya.

"Banyak yang tidak kita lihat sebagai orang dewasa. Anak-anak menghadapi tantangan yang tidak selalu kita pahami. Perspektif mereka ini yang harus kita jadikan dasar dalam menyusun kebijakan," tambah Raline.

Salah satu tantangan terbesar yang muncul adalah dampak media sosial terhadap kesehatan mental anak. Konten negatif yang merajalela bisa mengikis kepercayaan diri, menumbuhkan kecemasan, bahkan mendorong anak-anak ke dalam pergaulan yang berbahaya. 

Inilah urgensi bagi pemerintah untuk menciptakan regulasi yang benar-benar mampu melindungi generasi muda. Namun, regulasi saja tidak cukup. Raline juga menyoroti pentingnya peran keluarga dalam membentuk kebiasaan digital yang sehat. 

"Kita bisa bikin aturan seketat apapun, tapi kalau di rumah anak-anak tidak mendapatkan contoh yang baik, semua akan percuma. Orang tua harus hadir, bukan hanya secara fisik, tapi juga dalam dunia digital anak-anak mereka," tegasnya.

Kebijakan ini diharapkan menjadi langkah maju bagi Indonesia dalam menciptakan ekosistem digital yang lebih aman bagi anak-anak. Dengan mendengar suara mereka, Komdigi memastikan bahwa perlindungan digital bukan hanya wacana, tetapi kenyataan yang benar-benar dirasakan oleh mereka yang paling membutuhkan.

Komdigi memastikan bahwa kebijakan yang dihasilkan benar-benar relevan dan efektif dalam melindungi mereka di ruang digital. Namun, perlindungan ini tidak hanya tanggung jawab pemerintah, melainkan juga keluarga dan masyarakat. 

Sinergi yang kuat antara regulasi, edukasi, dan pendampingan orang tua akan menjadi kunci utama dalam menciptakan lingkungan digital yang lebih aman dan sehat bagi generasi Indonesia.

Diskusi ini dihadiri oleh tim dari Pusat Studi Kebijakan Publik (PSPK) serta 15 perwakilan anak dari jenjang SD, SMP, dan SMA. Hasil dari FGD ini akan menjadi bahan utama dalam penyempurnaan regulasi perlindungan anak di ruang digital.


Share:
Premium.
Komentar
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.

Update
Indeks