![]() |
Sridhar Vembu, CEO Zoho | @svembu |
Menurutnya, sebagian besar kode yang ditulis oleh para programmer saat ini memang termasuk kategori “kode standar” yang berulang dan dapat dipelajari serta direplikasi oleh sistem kecerdasan buatan.
"Bila orang mengatakan AI akan menulis 90% kode, saya langsung setuju karena 90% kode yang ditulis programmer adalah kode standar," tulis Sridhar Vembu, dikutip Senin (24/3/2025).
Dalam dunia pemrograman, terdapat dua jenis kompleksitas: kompleksitas esensial dan kompleksitas yang tidak disengaja. Kompleksitas esensial adalah bagian mendalam yang memang perlu dikuasai untuk menyelesaikan suatu masalah, sedangkan kompleksitas tidak disengaja adalah kerumitan tambahan yang sering kali muncul akibat desain yang kurang efisien atau kebiasaan buruk dalam penulisan kode.
AI hadir sebagai solusi untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan kompleksitas yang tidak disengaja ini. Dengan kemampuannya mengenali pola dari ribuan proyek yang dianalisis, AI dapat membantu menyederhanakan pekerjaan teknis yang selama ini memakan banyak waktu dan tenaga.
When people say "AI will write 90% of the code" I readily agree because 90% of what programmers write is "boiler plate".
— Sridhar Vembu (@svembu) March 22, 2025
There is "essential complexity" in programming and then there is a lot of "accidental complexity" (that is the boiler plate stuff) and this is very old wisdom…
Namun demikian, kompleksitas esensial tetap menjadi tantangan yang harus diselesaikan oleh manusia. AI belum sepenuhnya mampu menggantikan intuisi, kreativitas, serta pemahaman kontekstual yang dimiliki oleh seorang programmer saat menghadapi masalah yang belum pernah terjadi sebelumnya.
"Ada kompleksitas esensial dalam pemrograman dan kemudian ada banyak kompleksitas yang tidak disengaja, itulah hal yang klise dan ini adalah kearifan yang sangat lama dari Bulan Manusia Mistis," jelasnya.
Vembu juga merincikan, AI sejatinya hanya mampu mengolah pola yang sudah ditemukan sebelumnya yang berarti ia bekerja dalam ruang lingkup yang sudah ada. Kemampuan untuk menemukan pola baru, yang sering kali muncul dari firasat, naluri, atau keyakinan, masih menjadi ranah dominasi manusia. Di sinilah letak peran manusia yang belum tergantikan.
"Intinya, AI dapat mengolah pola yang sudah ditemukan oleh manusia. Bisakah ia menemukan pola yang sama sekali baru? Seperti halnya manusia, hal itu jauh lebih jarang dan kualitas yang dikenal sebagai 'selera' atau 'tahu di mana harus menggali' atau 'mengikuti firasat atau keyakinan sepenuhnya' diperlukan untuk menemukan pola baru," ungkapnya.
Proses menciptakan sesuatu yang benar-benar orisinal membutuhkan lebih dari sekadar logika atau komputasi. Ia membutuhkan apa yang sering kita sebut sebagai 'selera', yaitu kemampuan untuk menilai dan memilih arah yang tepat bahkan sebelum data tersedia. AI belum tentu mampu meniru dimensi subjektif semacam ini.
Oleh karena itu, meski AI memang dapat menggantikan sebagian besar pekerjaan teknis dalam pemrograman, peran manusia masih sangat penting dalam hal eksplorasi, penemuan, dan penciptaan nilai baru. Sehingga, masa depan bukan tentang manusia atau AI, tapi tentang bagaimana manusia dan AI saling melengkapi.
"Saya tidak tahu apakah AI dapat melakukan ini. Saya tidak tahu apakah itu dapat dipaksakan secara kasar," terangnya.