Ketegangan antara Tiongkok dan Taiwan kembali mencuat, Kementerian Keamanan Negara Tiongkok (MSS) mengungkap tuduhan serius terhadap Taiwan, menyebut empat orang yang diduga terkait militer Taiwan melakukan serangan siber dan spionase terhadap wilayah daratan.
Dalam pernyataan resminya, MSS menyebut para tersangka peretas merupakan anggota Komando Informasi, Komunikasi, dan Elektronik Taiwan (ICEFCOM) yang berada di bawah Kementerian Pertahanan Taiwan. Identitas, foto, tanggal lahir, hingga jabatan keempat orang itu dipublikasikan ke publik.
Menurut Tiongkok, ICEFCOM telah aktif sejak 2023 menjalankan operasi siber yang menargetkan infrastruktur penting di daratan Tiongkok, termasuk jaringan listrik, pasokan air, serta sistem telekomunikasi. Pemerintah Beijing menuduh Taiwan menggunakan kelompok peretas dan perusahaan keamanan siber untuk menjalankan misi-misi berbau ofensif tersebut.
"Anggota yang terungkap termasuk Lin Yushu, lahir tahun 1979, kepala Pusat Penelitian dan Analisis Lingkungan Jaringan dari 'Komando Informasi, Komunikasi, dan Pasukan Elektronik', dan Cai Jiehong, lahir tahun 1993, pemimpin tim pusat tersebut, sementara Nian Xiaofan, lahir tahun 1982, dan Wang Haoming, lahir tahun 1990, adalah personel aktif di pusat tersebut, menurut MSS. MSS juga mengungkap dengan foto dan nomor ID Taiwan mereka," ungkap MSS dalam laporan resminya, dikutip topik.id Selasa (18/3/2025).
Klaim Beijing menyebut metode yang digunakan termasuk serangan phishing, penyebaran email propaganda, serta disinformasi di media sosial menggunakan nama samaran seperti “Anonymous 64.” Namun, hingga kini Tiongkok belum mengungkap bukti terperinci terkait operasi yang dimaksud.
"Dalam beberapa tahun terakhir, badan keamanan nasional telah memantau dan menyelidiki secara ketat aktivitas infiltrasi siber oleh "pasukan internet" Taiwan. Mereka telah mengidentifikasi beberapa individu yang terlibat dalam perencanaan, komando, dan pelaksanaan aktivitas ini," jelasnya.
Saling serang.
Pemerintah Taiwan membantah keras tudingan tersebut. Perdana Menteri Taiwan Cho Jung-tai menilai pernyataan Beijing hanyalah dalih untuk membenarkan serangan siber yang justru dilakukan oleh pihak Tiongkok terhadap Taiwan secara sistematis.
ICEFCOM pun menegaskan bahwa seluruh aktivitasnya bertujuan untuk pertahanan nasional, bukan untuk menyerang daratan Tiongkok. Mereka menyebut tuduhan Beijing sebagai langkah intimidatif yang bertujuan memengaruhi opini publik Taiwan menjelang masa-masa krusial politik.
Perang siber antara Tiongkok dan Taiwan bukanlah hal baru. Ketegangan geopolitik yang telah lama membara kini menjalar ke ranah digital. Menurut badan intelijen Taiwan, sebagian besar serangan siber yang terjadi di pulau tersebut berasal dari kelompok yang didukung oleh negara Tiongkok.
“Teknik mereka semakin kompleks dan targetnya semakin luas,” ujar pejabat keamanan Taiwan. Lembaga pemerintah, infrastruktur penting, dan sektor manufaktur teknologi tinggi disebut sebagai sasaran utama serangan.
Di sisi lain, Tiongkok justru gencar menyoroti aktivitas siber Taiwan. Sejak 2024, MSS mulai merilis identitas peretas yang disebut berasal dari Taiwan, termasuk kelompok “Anonymous 64” yang diklaim Tiongkok dioperasikan oleh Taipei. Taiwan membantah klaim tersebut secara tegas.
Konsultan keamanan siber dari SentinelOne, Dakota Cary, menyebut bahwa publikasi nama-nama peretas oleh pemerintah Tiongkok merupakan strategi yang baru, dan menandai eskalasi perang informasi antara kedua pihak.
Dalam rangka mendukung klaimnya, tiga perusahaan keamanan siber Tiongkok — QiAnXin, Antiy, dan Anheng Information juga menerbitkan laporan yang menunjukkan aktivitas kelompok ancaman yang diduga berasal dari Taiwan dengan kode APT-Q-20.
Laporan tersebut menuding kelompok ini telah aktif sejak 2006 dan terlibat dalam pencurian data sensitif dari lembaga pemerintah dan militer di daratan Tiongkok. Meski tidak semua laporan menyebut langsung ICEFCOM, publikasi ini menunjukkan adanya koordinasi antara otoritas negara dan perusahaan siber Tiongkok.
Dalam pernyataan resmi lainnya, MSS menegaskan bahwa perang siber dari Taiwan merupakan bentuk sabotase yang mengancam persatuan nasional. Pihaknya memperingatkan bahwa internet bukanlah ruang bebas hukum dan siapa pun yang mendukung “kemerdekaan Taiwan” akan dihukum sesuai hukum yang berlaku.
MSS merinci aktivitas ICEFCOM sebagai serangan terhadap infrastruktur vital, penyebaran propaganda melalui akun bot, serta manipulasi opini publik melalui media sosial. Taktik lainnya termasuk sabotase melalui perangkat sumber terbuka seperti AntSword dan Metasploit.
Selain tuduhan spionase, MSS juga menyoroti kekacauan internal di dalam ICEFCOM. Menurut mereka, terjadi korupsi, persaingan politik, hingga penyalahgunaan dana dalam tubuh komando tersebut. Pejabat senior disebut memanfaatkan operasi siber untuk kepentingan pribadi, bahkan mengorbankan bawahan demi karier.
Pemerintah Tiongkok menegaskan bahwa “kemerdekaan Taiwan” adalah jalan buntu. MSS berkomitmen untuk melindungi kedaulatan nasional dan akan terus menindak kelompok yang dianggap mengancam stabilitas, baik di dunia nyata maupun dunia maya.
"MSS memperingatkan bahwa "kemerdekaan Taiwan" adalah jalan buntu. Badan keamanan nasional tetap teguh dalam melindungi kedaulatan nasional, keamanan, dan kepentingan pembangunan dan akan mengambil semua tindakan hukuman yang diperlukan terhadap separatis "kemerdekaan Taiwan" sesuai dengan ketentuan hukum yang relevan," jelasnya.