iklan - scroll untuk melanjutkan membaca.

Ancaman siber DDoS global melonjak, Indonesia kena getahnya

Serangan DDoS berbasis HTTP naik 9 persen dibanding kuartal sebelumnya dan melonjak 129 persen secara tahunan.

author photo
A- A+
Data: Cloudflare
Serangan Distributed Denial of Service (DDoS) kembali melonjak di kuartal II 2025. Laporan terbaru Cloudflare mencatat rekor serangan terbesar hingga mencapai 7,3 terabit per detik (Tbps) dengan intensitas 4,8 miliar paket per detik (Bpps). 

Angka ini menunjukkan peningkatan dibanding tahun lalu dan menandai bahwa infrastruktur digital global semakin tertekan menghadapi serangan berskala hipervolumetrik.

Secara keseluruhan, Cloudflare memblokir lebih dari 6.500 serangan DDoS hipervolumetrik hanya dalam satu kuartal, atau rata-rata 71 serangan per hari. Walaupun jumlahnya sedikit menurun dibanding lonjakan ekstrem pada kuartal pertama, tingkat intensitasnya jauh lebih tinggi dibanding periode yang sama di 2024 dengan kenaikan tahunan mencapai 44 persen.

Serangan DDoS terbesar pada kuartal kedua tahun 2025 juga mengalami beberapa pergeseran dibandingkan kuartal sebelumnya. Indonesia naik satu peringkat ke posisi pertama, Singapura naik dua peringkat ke posisi kedua, Hong Kong turun dua peringkat ke posisi ketiga, Argentina turun satu peringkat ke posisi keempat, dan Ukraina tetap menjadi sumber serangan DDoS terbesar kelima. 

Sementara itu, Rusia naik enam peringkat sebagai sumber serangan DDoS terbesar keenam, diikuti Ekuador yang naik tujuh peringkat. Vietnam naik satu peringkat ke posisi kedelapan. Belanda naik empat peringkat ke posisi kesembilan, dan Thailand turun tiga peringkat ke posisi kesepuluh.

Indonesia jadi sorotan.

Data Cloudflare
Di tengah lonjakan ini, Indonesia justru menjadi sorotan. Negeri ribuan pulau ini tercatat sebagai sumber terbesar serangan DDoS global pada kuartal kedua, naik satu peringkat dari sebelumnya. 

Artinya, banyak perangkat, server, atau node botnet di Indonesia yang dimanfaatkan untuk melancarkan serangan ke berbagai negara. Kondisi ini bukan berarti Indonesia jadi korban utama, tetapi memperlihatkan kerentanan infrastruktur digital lokal yang mudah dieksploitasi.
"Penting untuk dicatat bahwa peringkat 'sumber' ini mencerminkan lokasi node botnet, proksi, atau titik akhir VPN, bukan lokasi sebenarnya dari pelaku ancaman. Untuk serangan DDoS L3/4, di mana spoofing IP merajalela, kami melakukan geolokasi setiap paket ke pusat data Cloudflare yang pertama kali menyerap dan memblokirnya, memanfaatkan keberadaan kami di lebih dari 330 kota untuk akurasi yang benar-benar terperinci," ungkap laporan Cloudflare, dilansir Jumat (12/9/2025).
Sebagai perbandingan, negara yang paling sering menjadi korban serangan DDoS adalah Tiongkok, diikuti Brasil, Jerman, India, dan Korea Selatan. Dengan kata lain, lalu lintas berbahaya yang berasal dari Indonesia bisa saja ditujukan ke negara-negara tersebut maupun target lain di berbagai belahan dunia.

Laporan Cloudflare juga mengungkap perubahan strategi penyerang. Serangan DDoS berbasis HTTP naik 9 persen dibanding kuartal sebelumnya dan melonjak 129 persen secara tahunan, sedangkan serangan lapisan jaringan justru turun 81 persen. 

Maka, metode ini menunjukkan pelaku semakin menyasar aplikasi dan layanan langsung, bukan sekadar membanjiri infrastruktur jaringan.

Tren baru yang mengkhawatirkan adalah meningkatnya Ransom DDoS, di mana peretas menuntut tebusan agar serangan dihentikan. Cloudflare mencatat kenaikan 68 persen dari kuartal sebelumnya, dengan sepertiga responden mengaku menerima ancaman semacam itu. Fenomena ini menambah dimensi kriminal yang menyulitkan perusahaan maupun pemerintah dalam mengamankan layanan digital.

"Peringkat 10 lokasi teratas yang paling banyak diserang pada kuartal kedua 2025 bergeser secara signifikan. Tiongkok naik dua peringkat untuk merebut kembali posisi pertama, Brasil naik empat peringkat ke posisi kedua, Jerman turun dua peringkat ke posisi ketiga, India naik satu peringkat ke posisi keempat, dan Korea Selatan naik empat peringkat ke posisi kelima. Turki turun empat peringkat ke posisi keenam, Hong Kong turun tiga peringkat ke posisi ketujuh, dan Vietnam melonjak lima belas peringkat ke posisi kedelapan. Sementara itu, Rusia meroket empat puluh peringkat ke posisi kesembilan, dan Azerbaijan melonjak tiga puluh satu peringkat untuk melengkapi sepuluh besar," jelasnya.

Faktor lain yang membuat serangan semakin sulit ditangani adalah munculnya botnet berbasis mesin virtual (VM). Berbeda dengan botnet IoT tradisional, botnet VM bisa 5.000 kali lebih kuat, menjadikan serangan lebih masif.


Share:
Premium.
Komentar
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.

Update
Indeks