![]() |
| CEO Telegram, Pavel Durov | cover: topik.id |
Kontroversi penyensoran digital kembali mencuat setelah CEO Telegram, Pavel Durov, melontarkan kritik keras terhadap arah regulasi di Eropa yang dinilainya semakin mengekang kebebasan daring.
Ia mengutarakan Uni Eropa menggunakan isu perlindungan anak sebagai dalih untuk memperluas pengawasan massal, sekaligus menciptakan celah regulasi yang membebaskan pejabatnya sendiri dari praktik pemindaian pesan.
"Uni Eropa memanfaatkan emosi kuat masyarakat tentang perlindungan anak untuk mendorong pengawasan dan penyensoran massal. Proposal undang-undang pengawasan mereka dengan mudah membebaskan pejabat Uni Eropa dari pemindaian pesan mereka sendiri — dan unggahan David membantu menjelaskan alasannya," tulis Pavel Durov di akun X personalnya, seperti dilansir topik.id, Kamis (27/11/2025).
The EU weaponizes people’s strong emotions about child protection to push mass surveillance and censorship. Their surveillance law proposals conveniently exempted EU officials from having their own messages scanned — and David’s post helps explain why. https://t.co/liRdsV7asq
— Pavel Durov (@durov) November 27, 2025
Sebelumnya, Durov memberikan kritik tajam terhadap arah kebijakan digital dunia. Ia menilai bahwa generasi saat ini sedang kehabisan waktu untuk menyelamatkan "Internet bebas", ruang pertukaran informasi tanpa batas yang dulu menjadi cita-cita awal dunia maya. Durov menyesalkan bahwa visi itu kini terdistorsi menjadi alat pengawasan dan kontrol oleh negara maupun korporasi besar.
Menurut Durov, berbagai kebijakan baru yang muncul di negara-negara maju justru mengancam hak dasar pengguna internet. Ia mencontohkan penerapan digital ID di Inggris, kebijakan pemeriksaan usia daring di Australia, hingga rencana pemindaian massal pesan pribadi di Uni Eropa. Langkah-langkah ini, katanya, tidak hanya menekan kebebasan individu, tetapi juga membuka jalan bagi penyalahgunaan kekuasaan atas data pribadi.
Ia juga menyoroti meningkatnya represi terhadap kebebasan berpendapat di sejumlah negara Eropa. Durov menuding Jerman menindak warganya yang berani mengkritik pejabat publik, sementara Inggris disebut telah memenjarakan orang karena unggahan di media sosial. Prancis pun tak luput dari sorotan karena membuka penyelidikan pidana terhadap para pemimpin teknologi yang membela privasi digital.
"Saya berusia 41 tahun, tetapi saya tidak ingin merayakannya. Generasi kita kehabisan waktu untuk menyelamatkan Internet gratis yang dibangun untuk kita oleh para leluhur kita. Apa yang dulunya merupakan janji pertukaran informasi secara bebas kini diubah menjadi alat kontrol utama. Negara-negara yang tadinya bebas kini memperkenalkan tindakan distopia seperti ID digital (Inggris), pemeriksaan usia daring (Australia), dan pemindaian massal pesan pribadi (UE)," terang Pavel Durov.
Dalam pandangan Durov, munculnya 'dunia distopia' yang semakin nyata. Ia menggambarkan situasi global saat ini sebagai masa di mana kebebasan perlahan digantikan oleh ketakutan dan kepatuhan buta terhadap sistem. Jika dibiarkan, ia memperingatkan, generasi saat ini bisa tercatat dalam sejarah sebagai generasi terakhir yang pernah menikmati kebebasan sejati di dunia digital.
Lebih jauh, Durov menilai publik telah “dibohongi” oleh narasi besar yang menyesatkan. Ia menyebut bahwa masyarakat kini diarahkan untuk percaya bahwa perjuangan moral terbesar adalah menghancurkan nilai-nilai lama seperti tradisi, privasi, kedaulatan, pasar bebas, dan kebebasan berbicara. Padahal, menurutnya, nilai-nilai itulah fondasi yang menjaga kemanusiaan tetap waras di tengah laju teknologi.
"Dunia distopia yang gelap mendekat dengan cepat — sementara kita masih tertidur. Generasi kita berisiko tercatat dalam sejarah sebagai generasi terakhir yang memiliki kebebasan — dan membiarkannya dirampas. Kita telah diberi kebohongan," jelasnya.
