![]() |
Presiden Donald J. Trump | cover |
Kebijakan tersebut langsung menimbulkan kegelisahan di kalangan perusahaan teknologi global, khususnya India, yang selama ini menjadi pemasok terbesar tenaga kerja berbasis H-1B. Industri teknologi informasi (TI) India sangat bergantung pada skema ini untuk menempatkan ribuan insinyur perangkat lunak dan konsultan TI ke Amerika Serikat setiap tahunnya. Dengan tambahan biaya $100.000, banyak perusahaan India diprediksi akan kesulitan mengajukan pekerjanya ke pasar AS.
Proklamasi ini tidak hanya berlaku untuk lotere H-1B tahun 2026, tetapi juga mencakup semua pengajuan baru setelah 21 September 2025. Aturan tersebut memberi wewenang kepada Departemen Keamanan Dalam Negeri (DHS) dan Departemen Luar Negeri (DOS) untuk melakukan semua tindakan yang diperlukan dalam pelaksanaannya. Layanan Kewarganegaraan dan Imigrasi AS (USCIS) serta Bea Cukai dan Perlindungan Perbatasan (CBP) telah mengeluarkan panduan resmi untuk memastikan implementasi berjalan lancar.
"Pembatasan Masuknya Pekerja Non-imigran Tertentu," yang mengambil langkah penting, awal, dan bertahap untuk mereformasi program visa H-1B guna mengekang penyalahgunaan dan melindungi pekerja Amerika," tulis USCIS dalam pers rilisnya, dilansir Senin (22/9/2025).
Meski begitu, kebijakan ini tidak berdampak pada visa H-1B yang sudah diterbitkan sebelumnya atau permohonan yang diajukan sebelum tenggat. Pemegang visa H-1B saat ini juga masih bisa keluar masuk Amerika Serikat tanpa pembatasan tambahan. Dengan kata lain, biaya $100.000 hanya berlaku sekali saat pengajuan baru dan tidak mengubah aturan perpanjangan yang sudah ada.
Sektor TI India termasuk yang paling terpukul karena selama bertahun-tahun mendominasi daftar pemegang H-1B. Perusahaan raksasa seperti Tata Consultancy Services (TCS), Infosys, dan Wipro dikenal mengirim ribuan tenaga kerja setiap tahunnya. Biaya tambahan sebesar itu akan memangkas margin keuntungan dan membuat perusahaan harus lebih selektif dalam menugaskan pekerja ke AS. Banyak analis bahkan memperkirakan perusahaan kecil di India akan sulit bersaing karena beban biaya yang sangat tinggi.
Pemerintah AS menegaskan bahwa langkah ini adalah bagian dari strategi untuk memastikan program H-1B digunakan hanya oleh pekerja asing dengan keterampilan tinggi dan kompensasi besar. Departemen Tenaga Kerja akan merevisi standar gaji minimum, sementara Departemen Keamanan Dalam Negeri berencana mengubah mekanisme lotere agar lebih mengutamakan pekerja dengan keterampilan tinggi. Tujuannya jelas: mengurangi ketergantungan perusahaan pada tenaga kerja asing murah.
"Memerlukan pembayaran sebesar $100.000 untuk setiap petisi visa H-1B baru yang diajukan setelah pukul 12.01 pagi waktu timur pada tanggal 21 September 2025. Ini termasuk lotere 2026, dan petisi H-1B lainnya yang diajukan setelah pukul 12.01 pagi waktu timur pada tanggal 21 September 2025," jelasnya.
Kebijakan ini menimbulkan pro dan kontra. Pihak pendukung menyebut langkah Trump akan membuka lebih banyak peluang bagi tenaga kerja lokal dan mengurangi praktik “body shopping” yang sering dikaitkan dengan perusahaan konsultan TI India. Namun, pihak penentang berpendapat kebijakan ini berisiko menghambat inovasi teknologi dan melemahkan daya saing perusahaan AS yang selama ini terbantu oleh tenaga kerja global berkualitas tinggi.
Reformasi tambahan atas program H-1B masih menunggu pengumuman resmi dalam beberapa bulan mendatang. Namun, jelas bahwa India menjadi salah satu negara yang paling terkena dampak langsung dari kebijakan Trump. Dengan beban biaya tinggi dan regulasi baru yang semakin ketat, industri TI India harus menata ulang strategi globalnya jika ingin tetap menjaga pijakan kuat di pasar teknologi Amerika.
"Peraturan yang dibuat oleh Departemen Tenaga Kerja untuk merevisi dan menaikkan tingkat upah yang berlaku dalam rangka meningkatkan keterampilan program H-1B dan memastikan bahwa program tersebut digunakan untuk hanya mempekerjakan pekerja asing sementara terbaik," ungkapnya.